Kanker kolorektal di Indonesia menduduki peringkat ke empat dengan 396.914 kasus baru setelah kanker payudara pada perempuan, kanker serviks dan kanker paru. Deteksi dini kanker kolorektal dilakukan melalui kolonoskopi. Kolonoskopi merupakan modalitas pemeriksaan awal yang paling memadai diantara pemeriksaan penunjang lainnya karena memiliki sensitivitas 95% untuk polip dan adenokarsinoma kolorektal dan tanpa adanya paparan radiasi. Pada saat melakukan kolonoskopi, biasa dilakukan prosedur biopsi untuk menentukan apakah massa yang ditemukan merupakan kanker atau bukan. Bagaimana prosedur biopsi tersebut? Apakah bermanfaat atau malah merugikan?
Biopsi dapat langsung dilakukan untuk menegakkan diagnosis massa kolorektal secara cepat pada saat dilakukan kolonoskopi. Akurasi yang tinggi disertai dengan uji diagnostik yang cepat akan sangat berperan dalam penatalaksanaan yang lebih cepat dan tepat. Dokter bedah digestif akan melakukan penilaian keadaan usus pada saat kolonoskopi. Apabila didapatkan massa/polip, dokter akan melakukan insisi atau mengambil sampel jaringan massa/polip yang dicurigai kanker. Sampel biopsi yang telah didapatkan dari dokter ahli bedah digestif dan dokter Konsultan Gastroenterologi kemudian akan dilakukan pemeriksaan histopatologi oleh Dokter Spesialis Patologi Anatomi untuk menilai ada tidaknya keganasan, jenis tumor, infeksi yang bersifat akut atau kronik, dan berbagai kelainan lainnya. Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan histopatologi biopsi adalah kemampuan patolog dan keterampilan klinisi untuk mengambil sampel yang representative. Hasil jaringan yang didapatkan pada tindakan biopsi saat kolonoskopi maupun reseksi usus akan dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk menentukan karakteristik jenis kanker yang dialami. Diagnosis pasti akan tegak setelah hasil histopatologi jaringan biopsi didapatkan.
Prosedur Biopsi/Polipektomi Pada Saat Kolonoskopi.
Segala prosedur medis yang dilakukan dapat melukai jaringan dan memiliki risiko infeksi serta perdarahan. Beberapa penelitian sebelumnya menilai bahwa risiko efek samping biopsi hanya sekitar 7%, sehingga tindakan ini relatif aman dilakukan untuk menegakan diagnosis kanker secara pasti. Risiko terjadinya efek samping juga bergantung pada tingkat keparahan kanker. Pada pasien dengan kanker stadium lanjut yang mengalami komplikasi, tindakan biopsi memiliki risiko yang lebih besar.
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan adanya penyebaran sel kanker ke area sekitar luka tusukan jarum biopsi maupun ke bagian tubuh lain. Namun tidak diketahui dengan pasti apakah sel kanker tersebut akan menyebabkan kanker di lokasi yang penyebaran. Kemungkinan biopsi untuk menyebarkan sel kanker sangat minimal.
Biopsi menjadi alat diagnosis yang akurat mengenai stadium kanker dan tingkat keganasannya dibandingkan dengan pemeriksaan pencitraan seperti CT scan. Tidakan invasif akan menimbulkan efek samping, namun efek samping yang dapat diminimalisir pada tindakan biopsi menyebabkan manfaat tindakan menjadi lebih besar dibandingkan efek samping yang dialami.
Referensi
Ditulis oleh: dr. Fadhilla Chrisanti
Disunting oleh: dr. Daniel Rizky, SpPD-KHOM