Kanker usus besar atau kanker kolorektal merupakan keganasan yang terjadi pada wilayah usus besar hingga rektum (usus besar sebelum anus). Kanker ini banyak ditemukan dengan angka kematian tinggi. Menurut WHO, di Indonesia, kasus baru kanker kolorektal tercatat hingga 34.189 pasien atau 8,6% dari seluruh keganasan. Gejala yang sering muncul pada kanker usus besar, sering menyerupai gejala penyakit saluran cerna lainnya, sehingga diagnosis menjadi terlambat. Sebenarnya, bagaimana cara mendiagnosis kanker usus besar?
Keluhan yang biasa dicurigai kearah kanker usus adalah adanya perubahan pola buang air besar, BAB berdarah, disertai keluhan penurunan berat badan dan pasien merasa lemas. Dokter juga mungkin akan menanyakan riwayat penyakit lainnya apakah ada riwayat penyakit saluran cerna seperti irritable bowel syndrome, atau ada anggota keluarga dengan riwayat kanker. Setelah dilakukan pemeriksaan riwayat penyakit oleh dokter dan pemeriksaan fisik, apabila pada pasien ditemukan; penurunan berat badan, anemia, nyeri tekan/teraba massa pada perut, hingga benjolan di anus, dokter mungkin akan curiga kearah kanker usus. Selanjutnya dokter mungkin akan melakukan serangkaian pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang berperan penting dalam menegakan diagnosis kanker usus besar. Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan antara lain endoskopi, barium enema dengan kontras ganda, dan CT colonography.
Bagian usus besar.
Endoskopi adalah prosedur pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakan diagnosis kanker kolorektal. Prosedur yang direkomendasikan adalah sigmoidoskopi karena >35% tumor terletak di sigmoid (usus besar akhir), atau kolonoskopi total (melihat seluruh usus besar). Kolonoskopi memiliki tingkat sensitivitas untuk diagnosis sebesar 95%, serta dapat dilakukan biopsi jaringan pada saat dilakukan kolonoskopi. Kolonoskopi juga dapat melakukan tindakan pengankatan polip (polipektomi) dan tidak memaparkan pasien pada radiasi. Kekurangan kolonoskopi adalah prosedur ini membutuhkan pasien untuk dibius dan terdapat risiko lokalisasi tumor tidak akurat. Pedoman Kementrian Kesehatan Indonesia merekomendasikan kolonoskopi dilakukan pada semua kasus yang dicurigai kanker kolorektal.
Prosedur Kolonoskopi.
Pedoman Kementrian Kesehatan juga menyarankan pemeriksaan barium enema dengan kontras ganda untuk mendiagnosis kanker kolorektal, terutama apabila tidak dapat dilakukan kolonoskopi. Sensitivitas pemeriksaan sebesar 65‒95%, dengan tingkat keberhasilan sangat tinggi, pasien tidak perlu dibius, dan tersedia hampir di seluruh rumah sakit. Namun, pemeriksaan ini kurang dapat melakukan deteksi pada tumor atau polip kecil, dan pasien akan terpapar radiasi.
Prosedur Barium Enema.
CT colonography dilaporkan memiliki sensitivitas baik untuk mendiagnosis kanker kolorektal. Namun, pemeriksaan ini belum banyak tersedia karena alat CT scan harus memiliki kemampuan rekonstruksi multiplanar dan 3D volume rendering agar bisa melakukan CT colonography. Pemeriksaan ini dapat menunjukan keadaan di luar kolon, sehingga mampu menentukan stadium, metastasis atau penyebaran kanker ke organ sekitar, hingga kelenjar getah bening. Kekurangannya, pemeriksaan ini tidak dapat mendiagnosis tumor atau polip berukuran kecil, memaparkan pasien pada radiasi, dan tidak dapat melakukan biopsi atau polipektomi.
Prosedur CT colonography.
Untuk menentukan apakah gejala dan keluhan yang dialami seseorang mengarah ke kanker usus besar atau tidak, tidak cukup dengan pemeriksaan fisik saja. Berbagai pemeriksaan penunjang diperlukan untuk memastikan kelainan terkait keluhan yang dialami. Segera konsultasi kepada dokter apabila mengalami keluhan dan riwayat yang mengarah ke kanker usus besar, agar dapat segera dilakukan pemeriksaan dan diagnosis dapat ditegakan sehingga dapat segera dilakukan penanganan yang tepat.
Referensi:
Ditulis oleh: dr. Fadhilla Chrisanti
Disunting oleh: dr. Daniel Rizky, SpPD-KHOM