Setiap 1 menit muncul 1 kasus baru dan setiap 2 menit meninggal 1 orang perempuan karena kanker serviks. Di Indonesia diperkirakan setiap hari muncul 40-45 kasus baru, 20-25 orang meninggal, berarti setiap 1 jam diperkirakan 1 orang perempuan meninggal dunia karena kanker serviks. Masih banyak kasus kanker serviks yang banyak terdeteksi saat sudah stadium lanjut. Hal ini disebabkan karena stadium awal kanker serviks tidak memiliki gejala, sehingga saat sudah bergejala biasanya sudah stadium lanjut. Skrining dan deteksi dini memegang peran penting dalam mendeteksi kanker serviks lebih awal sehingga pengobatan lebih maksimal dan angka kematian bisa menurun. Skrining yang lazim dilakukan untuk mendeteksi kanker serviks dapat dilakukan tes IVA atau pap smear. Apa beda dari kedua tes ini? Mana yang lebih baik dilakukan secara rutin?
Tes IVA atau Inspeksi Visual Asam Asetat adalah pemeriksaan pada serviks yang dilakukan dengan cara mengulas asam cuka (asam asetat 3-5%) dan iodium lugol pada permukaan serviks. Pemeriksaan ini relatif cepat, karena hasil dapat langsung terlihat serta bahan pemeriksaan yang digunakan terbilang murah dan mudah didapatkan. Asam asetat akan menyebabkan tampilan serviks berwarna keputihan akibat adanya pertumbuhan pembuluh darah pada serviks yang memiliki lesi kanker. Kekurangan dari pemeriksaan ini, hasil bergantung pada operator pemeriksa (subjektif) dan terkadang memberikan hasil positif palsu pada wanita usia lanjut yang memiliki lesi pada serviksnya. Lesi awal yang terdeteksi pada tes IVA dapat segera diberi penanganan. Karena alat dan pemeriksaan yang sederhana, WHO merekomendasikan untuk melakukan tes IVA pada wilayah yang tidak memiliki fasilitas pemeriksaan sitologi lengkap.
Angka kesakitan dan kematian akibat kanker serviks banyak menurun pada negara berkembang setelah rutin dilakukan pemeriksaan pap smear. Pap smear mulai dikembangkan di Amerika sejak 1950. Pap smear adalah pemeriksaan sitologi yang dilakukan dengan mengambil sampel pada serviks. Namun, hasil pemeriksaan tetap bergantung pada teknisi dan petugas pengambilan sampel maupun pemeriksa sampel di laboratorium. Pada negara berkembang yang memiliki standar pemeriksaan tinggi, sensitifitas pemeriksaan mencapai 80-90%. Pengambilan sampel dilakukan dengan mengulas kapas dan sikat halus pada permukaan dan bagian serviks, sampel yang didapatkan lalu diulas pada kaca objek yang kemudian akan dinilai di laboratorium. Di laboratorium akan dinilai sel yang ditemukan pada pulasan, apakah normal atau terdapat sel abnormal, meskipun bukan semua sel abnormal disebabkan kanker serviks. Apabila terdapat sel abnormal, diperlukan pemeriksaan lanjutan.
Pemeriksaan pap smear
Apa perbedaan dari kedua pemeriksaan ini? Pemeriksaan IVA dan pap smear hanya untuk mendeteksi kemungkinan adanya kelainan pada serviks, bukan untuk menegakan diagnosis resmi adanya kanker serviks. Pemeriksaan IVA bersifat cepat dan hasil dapat langsung diketahui, lebih murah dan mudah. Sedangkan pemeriksaan pap smear lebih kompleks, karena harus dilakukan penilaian sampel terlebih dahulu di laboratorium, sehingga memerlukan peralatan dan biaya yang lebih banyak. Pemeriksaan IVA dapat dilakukan dimana saja, asalkan bahan pemeriksaan tersedia. Sedangkan pemeriksaan pap smear memerlukan laboratorium dengan peralatan memadai. Namun, pemeriksaan IVA sangat bergantung pada pemeriksa, karena penilaian yang diberikan bersifat subjektif berdasarkan mata pemeriksa, karena pemeriksaan dilakukan berdasarkan kasat mata gambaran serviks. Pemeriksaan pap smear menilai pada tingkat sel serviks, apakah terdapat kelainan atau tidak. Maka hasil pap smear akan terlihat lebih akurat karena kelainan dinilai dari tingkat sel. Kelainan yang belum terlihat secara kasat mata dapat terlihat.
Kedua pemeriksaan, baik IVA maupun pap smear sama-sama baik, dan sama-sama perlu dilakukan untuk mendeteksi dini kanker serviks. Pilihan pemeriksaan bergantung pada SDM, lokasi dan alat yang tersedia serta biaya. Para wanita yang sudah menikah dan aktif secara seksual sangat disarankan untuk melakukan salah satu dari pemeriksaan ini minimal setiap 3 tahun sekali.
Referensi
Ditulis oleh: dr. Fadhilla Chrisanti
Disunting oleh: dr. Daniel Rizky, SpPD-KHOM