Batuk darah sering dikaitkan dengan kanker paru. Padahal, tidak semua pasien kanker paru mengalami gejala batuk darah, hanya sekitar dua puluh persen penderita kanker paru yang mengalami batuk darah, dan tidak semua batuk darah disebabkan oleh kanker. Lalu gejala apa saja yang dapat muncul pada penderita kanker paru?
Kanker paru pada stadium awal biasanya tidak menimbulkan banyak gejala bermakna. Seringkali gejala baru muncul ketika kanker sudah berkembang lebih lanjut. Gejala yang dapat dijumpai pada kanker paru adalah batuk darah atau hemoptisis, batuk persisten lebih dari dua minggu yang tidak merespon pengobatan, sesak napas, nyeri dada, serta gejala sistemik seperti penurunan berat badan dan demam. Gejala yang muncul juga berbeda, bergantung letak dan posisi tumor atau kanker. Apabila mengalami gejala tersebut disertai riwayat faktor risiko penyebab kanker paru seperti perokok lama, pajanan lingungan dengan bahan kimia seperti asbestos, radon, arsen, kromium, nikel, polisiklik hidrokarbon, vinil klorida, serta radiasi ion, riwayat anggota keluarga yang menderita kanker paru maupun riwayat menderita atau sedang menderita kanker lainnya seperti kanker payudara, prostat atau neuroblastoma yang dapat bermetastasis atau menyebar ke paru-paru.
Batuk darah merupakan percampuran antara lendir dengan perdarahan saluran napas bawah. Batuk darah dapat disebut masif apabila produksinya mencapai volume 100-1000 ml dalam 24 jam atau menimbulkan gangguan seperti gangguan tekanan darah, sumbatan jalan napas hingga gagal napas bahkan sampai menyebabkan kematian. Batuk darah pada pasien kanker paru disebabkan banyaknya pembuluh darah baru pada jaringan kanker. Pembuluh darah ini bersifat lebih rapuh, sehingga mudah pecah pada saat pasien batuk. Darah kemudian bercampur dengan lendir sehingga muncul gejala batuk darah. Gejala ini memang muncul pada sebagian besar penderita kanker paru.
Kanker paru juga dapat menimbulkan gejala batuk lama yang lebih dari dua minggu tanpa perbaikan meski sudah diobati. Batuk dapat bersifat kering maupun berdahak. Batuk lama tidak hanya disebabkan oleh kanker paru. Alergi, asma, infeksi paru seperti tuberkulosis maupun infeksi paru berulang dapat menimbulkan gejala batuk lama. Pasien kanker paru biasanya merupakan perokok aktif. Asap rokok juga dapat mengiritasi saluran pernapasan dan menyebabkan batuk. Maka dari itu, apabila muncul batuk lama yang tidak membaik dengan pengobatan, anda patut melakukan pemeriksaan ke dokter untuk dicari penyebabnya.
Sesak napas banyak dijumpai pada penyakit yang berkaitan dengan paru-paru. Pada kanker paru, sesak napas dapat disebabkan oleh tumor yang mendesak paru-paru dan saluran pernapasan sehingga menyumbat dan menghambat sistem pernapasan. Adanya produksi lendir yang berlebihan pada penderita kanker paru juga menyebabkan proses pernapasan terganggu sehingga pasien akan merasakan sesak. Sesak napas juga dapat disebabkan adanya penumpukan cairan pada selaput paru atau efusi pleura.
Penderita kanker paru banyak yang mengalami keluhan nyeri dada. Nyeri dada biasanya bersifat menjalar hingga ke punggung dan juga disertai sesak. Nyeri dada juga memberat ketika pasien batuk atau menarik napas. Hal ini disebabkan adanya tumor yang mendesak rongga dada, dan diperberat dengan batuk lama yang terus menerus.
Adanya peradangan berkepanjangan pada pasien kanker menyebabkan terjadinya penurunan berat badan, tidak hanya pada pasien kanker paru. Peradangan ini merupakan respon tubuh terhadap tumor yang terbentuk, tumor ini mengaktifkan sitokin yang mengganggu hormone dan metabolisme tubuh. Hal ini juga menyebabkan pemecahan lemak dan otot sehingga berat badan pasien turun seiring perkembangan kanker.
Batuk darah memang diderita mayoritas kanker paru, meski tidak semua mengalaminya dan tidak semua batuk darah disebabkan kanker. Namun apabila anda mengalami gejala yang disebutkan diatas ataupun memiliki faktor risiko kanker paru, ada baiknya lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan penyakit yang mendasari munculnya gejala tersebut.
Ditulis oleh: dr. Fadhilla Chrisanti
Disunting oleh: dr. Daniel Rizky, SpPD-KHOM